14 February 2012

Bangunan Rahasia 100 Meter di Gunung Padang?

Diduga peradaban Indonesia sudah maju pada 4.700 Sebelum Masehi. Bukan primitif.
--------------------------------------------------------------------------------

VIVAnews - Penelitian bencana purba yang dilakukan Tim Katastrofi Purba berujung pada penemuan kunci rahasia peradaban kuno Indonesia yang terpendam di dalam tanah.

Apa kaitan bencana dengan peradaban purba? Koordinator tim sekaligus, Staf Khusus Kepresidenan bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief mengatakan, berdasarkan hasil penelitian di Banda Aceh, Batujaya, dan Trowulan, terlihat adanya keterkaitan antara sejarah peradaban dan bencana alam.

"Apabila masyarakat tahu tentang bencana masa lalu yang pernah menghancurkan negerinya seperti kejadian tsunami Aceh pada Abad ke-14 dan 15 maka tidak akan terjadi banyak korban seperti (tsunami) pada tahun 2004 yang banyak disebabkan oleh ketidaktahuan ini," kata dia, dalam hasil sarasehan yang diterima VIVAnews.com, Senin 13 Februari 2012.

Sarasehan bertajuk "Mengungkap Tabir Peradaban dan Bencana Katastropik Purba di Nusantara untuk Memperkuat Karakter dan Ketahanan Nasional" itu dilaksanakan di Gedung Krida Bhakti, Sekretariat Negara, pada 7 Febuari 2012 lalu.

Hasilnya, seperti disampaikan oleh anggota Tim dua geolog kawakan Dr Danny Hilman dan Dr Andang Bachtiar yang lalu diteruskan oleh Andi Arief kepada VIVAnews, terkuak adanya kearifan purba, terkait antisipasi bencana akibat guncangan gempa. Misalnya, apa yang terlihat di situs Gunung Padang.

"Adanya hamparan pasir di kedalaman 3-5 meter di bawah Situs bagian atas boleh jadi merupakan warisan 'kearifan masa lalu' dalam mengantisipasi bencana akibat guncangan gempa," kata Andi. Untuk diketahui, lokasi situs sangat dekat dengan Patahan Cimandiri.

Lebih jauh lagi, ia menambahkan, situs sejarah yang dianggap banyak arkeologi penelitiannya sudah 'selesai' seperti Trowulan ternyata masih menyimpan banyak misteri sejarah yang terpendam di bawahnya. "Hal itu hanya dapat terkuak oleh metoda "arkeo-geologi"," kata dia.

Demikian juga banyak situs yang terlihat menyembul hanya beberapa meter di permukaan dan oleh para ahli arkeologi hanya dikuak 1-2 meter saja ternyata menyimpan tubuh bangunan sampai kedalaman 15 meter bahkan lebih. Yang mungkin menyimpan misteri sejarah peradaban kuno yang berlapis-lapis.

Kembali ke Gunung Padang, Andi mengatakan, situs itu tidak sesederhana yang diketahui orang kebanyakan, tak sekedar tumpukan batu purba zaman Megalitikum. "Tapi sangat luar biasa. Di bawah situs yang terlihat di puncak bukit ternyata ada struktur bangunan, paling tidak, sampai kedalaman 20 meter dari puncak seperti yang terlihat dari geolistrik dan georadar dan sudah diverifikasi oleh data pemboran," kata dia.

Dari data geolistrik, diduga kuat bahwa struktur bangunan ini sampai memenuhi seluruh bukit. "Dari puncak hingga level tempat parkir, atau kurang lebih 100 meter tingginya."

Hasil penelitian sementara Gunung Padang, Andi Arief menambahkan, menunjukkan bahwa peradaban Indonesia pada masa 4.700 Sebelum Masehi sudah demikian tinggi. "Ini adalah bukti nyata yang pertamakalinya ditemukan di Indonesia. Hal ini diharapkan menjadi pionir untuk menguak masa prasejarah Indonesia yang selalu diasumsikan primitif itu oleh banyak orang termasuk para ahli arkeologi."

Temuan di Gunung Padang juga sejalan dengan hasil riset ahli genetika, Stephen Oppenheimer bahwa Bangsa Nusantara sejak sebelum 10.000 tahun lalu merupakan pusat teknologi pertanian, peternakan, dan pelayaran untuk wilayah Asia-Pasifik, dan bahkan dunia.

Selain Gunung Padang, tim juga menemukan anomali di Gunung Sadahurip atau Gunung Putri. Bahwa apa yang nampak sebagai gunung atau bukit alami sejatinya diduga sebagai bangunan buatan manusia. "Ada kesamaan karakter dan geometri dari struktur resistivity Gunung Sadahurip dan Gunung Padang, selain banyak fenomena unik di Sadahurip yang sukar untuk dijelaskan oleh proses dan bentukan geologi," kata Andi Arief.

Hasil geolistrik superstring menunjukan, ada kesamaaan pola struktur umum antara Sadahurip dan Gunung Padang: bagian atasnya 'bertopi merah", di bawahnya si biru yang di alasi oleh cawan merah. "Oleh karena itu penelitian di sadahurip perlu dilanjutkan ke pengeboran untuk memperoleh hasil yang baik," kata Andi Arief. (umi)

11 February 2012

Menguak Piramida di Gunung Padang

Ditemukan pasir halus, dan semen purba di dalam gunung itu. Diduga buatan manusia.
-------------------------------------------------------------------------------





VIVAnews—Di atas Gunung Padang, pipa itu lurus melesak masuk ke tanah. Lengking suara mesin bor bercampur desau angin melantun di perbukitan Cianjur, Jawa Barat, pada Jumat pekan lalu. Seorang lelaki tambun menyimak gerak pipa-pipa itu menembus tanah. Dia berkaca mata. Rambut peraknya berkibar di tiup angin.

Di ketinggian 900 meter itu, hujan baru saja reda. Pipa berdiameter 12,5 sentimeter itu baru diangkat.

Lelaki itu adalah Andang Bachtiar. Dia doktor geologi. Andang mengambil batu, dan material lain tersangkut di selongsong pipa. Benda-benda purba itu seperti siap menjawab teka-teki di perut Gunung Padang.

Hampir setahun lebih, atau sejak Andang dan kawan-kawannya terlibat di Tim Peneliti Katastrofi Purba, ada pertanyaan besar menggelayut: adakah peradaban tinggi tersembunyi di perut gunung itu?

Ini hari kesembilan mereka menembus tanah Gunung Padang. Andang memperhatikan hasil pengeboran. Di lehernya melingkar loupe, alat bantu melihat kandungan batuan. Dengan loupe, dia memperhatikan batu dan material berasal dari kedalaman 27 meter.

“Kita pernah menemukan pasir halus,” ujar Andang.

Pasir itu menurutnya bukan hasil bentukan alam. Sortirannya halus, dengan ukuran sama. “Seperti diayak,” ujarnya menambahkan. Artinya, pasir itu adalah hasil kerja manusia. Lalu, apa guna pasir di perut gunung itu?

Inilah yang mau dijawab. Gunung Padang adalah salah satu gunung diincar oleh tim itu. Gunung lainnya adalah Gunung Sadahurip, atau Gunung Putri di Garut, Jawa Barat. Sadahurip bentuknya sangat simetris, nyaris seperti piramida. Uniknya, hasil riset geolistrik di Gunung Sadahurip di Garut, Jawa Barat, menunjukkan struktur serupa dengan Gunung Padang. Ada lapisan batuan yang bukan buatan alam.

Seorang peneliti, Dr Danny Hilman, mengatakan hasil geolistrik dan georadar itu yang membuat mereka tertegun. “Dari hasil foto, dan juga georadar, lapisan batuan itu penuh anomali,” ujar Danny, yang ikut di lokasi pengeboran bersama Andang.

Itu sebabnya, untuk membuktikan hasil geolistrik dan georadar itu, dilakukan pengeboran di kedua gunung. Sampel pun diambil.

Sebagai awal, Gunung Padang menjadi proritas. Di gunung ini ada punden berundak, situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara. Dari hasil pengeboran, sejumlah sampel tanah dan materi lain kemudian disodet, dan dimasukkan ke plastik bening, untuk penelitian carbon dating.

Hasilnya mencengangkan. Batuan di dalam gunung itu bukan batuan biasa. “Itu man-made, buatan manusia,” ujar Hilman. Hasil pengujian carbon dating, menyatakan kemungkinan batuan di sana berusia 4.700 tahun Sebelum Masehi.

Danny yakin batuan itu bukan karena alam. “Bahkan sampai di kedalaman 25 meter, ini man-made (buatan manusia)," ujar Danny.

Tak hanya itu. Susunan bangunan batu di dalam gunung itu, kata Danny, diduga sudah mengenal teknologi perekat dalam konstruksi bangunan. "Ini semacam semen purba," ujar Danny, memperlihatkan sebuah lapisan terletak di antara susunan batu.

Andang juga menambahkan tentang pasir yang dia temukan itu. “Bisa jadi pasir ini adalah teknologi tahan gempa. Mungkin ada bekas yang masih bisa dipelajari," ujarnya.

Menurut Danny, di Gunung Padang, sudah hampir dua per tiga bagian gunung itu diambil sampelnya. Hasilnya persis seperti uji geolistrik dan georadar yang dilakukan sebelumnya. Ada semacam struktur bangunan di dalam gunung itu. “Dengan dua per tiga bukit ini buatan manusia, berarti teknologi konstruksi nenek moyang sudah luar biasa,” ujar Danny.

Bukan berburu piramida

Situs Gunung Padang bukanlah temuan arkeologi baru. Peneliti Belanda N.J Krom pernah menulis soal punden berundak ini pada 1914. Selanjutnya, R.P. Soejono menjadi peneliti Indonesia pertama meneliti situs ini pada 1982.

Gunung Padang baru menarik perhatian media setelah diteliti oleh Tim Bencana Katastrofi Purba, yang difasilitasi Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief. Ada pun Danny Hilman dan Andang Bachtiar adalah anggota tim ini.

Tim peneliti ini mulai disorot saat meneliti Gunung Sadahurip di Garut, Jawa Barat, yang diduga sebagian kalangan mengandung bangunan piramida di bawahnya.

Awalnya, soal dugaan piramida di Sadahurip itu pernah diungkap Yayasan Turangga Seta. Itu adalah lembaga yang peduli kegemilangan sejarah nenek moyang di masa lalu. Selain Sadahurip, Turangga Seta juga menyebut adanya piramida di Gunung Lalakon, Soreang, Bandung, Jawa Barat. (Baca juga SOROT 124 Berburu Piramida Nusantara).

Keraguan pun muncul. Apalagi, Turangga Seta dianggap memadukan unsur mistis dalam pencarian piramida, dengan istilah keren yang mereka pakai: parallel existence.

Bantahan tajam diungkap oleh ahli geologi, Sujatmiko. Di Bandung, dia mengatakan bentuk piramida dari Gunung Sadahurip adalah hasil alamiah. Sadahurip, kata Sujatmiko, adalah gunung jenis cumulo dome yang terbentuk dari aliran lava, batuan intrusif, dan piroklastik. Pro dan kontra pun kian ramai.

Danny Hilman tentu saja tersengat. Meskipun tak pernah mengatakan ada piramida secara eksplisit di Sadahurip, tapi Tim Katastrofi Purba memang pernah meneliti di gunung itu.

Tapi Danny mengatakan tujuan tim bukanlah mencari piramida. Mereka meneliti siklus bencana, yang terjadi di nusantara sejak masa lalu. Dalam penelitian itu, tim juga menelisik jejak peradaban lama yang musnah akibat bencana. Itu penting, kata Danny, agar pola mitigasi bencana dipahami. "Tim ini terbentuk, bukan dibentuk. Kami juga hanya difasilitasi dalam melakukan penelitian ini," ujar Danny Hilman.

Itu sebabnya, mereka menelisik dari Banda Aceh di ujung Sumatera, Batujaya di Karawang, dan Trowulan di Jawa Timur. Temuan sejumlah penelitian itu membuat para peneliti itu percaya ada peradaban tinggi di Indonesia di masa lalu. “Raflles pernah bilang, kerajaan di Sumatera dan Jawa lebih mundur dari pendahulunya,” ujar Danny, mengutip Sir Thomas Raffles (1781-1826), Gubernur Hindia Belanda di abad ke-19.

Lalu mengapa memilih Gunung Padang?

Gunung Padang, kata Danny, adalah 'kompleks bangunan' besar terletak di dekat patahan Cimandiri, sebuah patahan aktif. Sebagai bekas peradaban megalitikum, mereka ingin melihat adakah bencana purba menghancurkan peradaban di gunung itu. Pengeboran di Gunung Padang dilakukan setelah hasil survei geolistrik, geomagnet, dan georadar. Hasilnya: ada tanda-tanda tak alamiah di bawah permukaan Gunung Padang.

"Mungkin selama ini arkeolog meneliti berdasarkan 'what you see is what you get'. Tapi di geologi berbeda. Kami harus melakukan pengeboran agar mendapatkan apa yang tak terlihat di permukaan," kata Danny Hilman.

Andang Bachtiar mengatakan tak begitu peduli anggapan orang yang menyebut timnya mencari piramida. "Masih terlalu dini juga menyebut piramida," ujarnya, sambil terus mengamati materi terkandung dari hasil pengeboran.

Andang berharap penelitian lanjutan akan terus dilakukan di Gunung Padang. "Ini memang dari dana kami sendiri, karena itu hasilnya masih terbatas. Alat yang digunakan pun masih pinjaman, karena itu hanya bisa mengebor sampai kedalaman sekitar 25 meter," tutur peraih gelar Master of Science dari Geology Department, Colorado School of Mines di Amerika Serikat pada 1991 ini.

Harta karun

Untuk menjernihkan pelbagai tudingan, Danny Hilman dan Andang Bachtiar mengungkap hasil penelitian Tim itu pada acara diskusi di Gedung Krida Bhakti, Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, 7 Februari 2012. Di acara ini, keduanya memaparkan tujuan, metode, dan hasil penelitian awal mereka .

Dikatakan, hasil survei georadar, geolistrik dan geomagnet di Gunung Padang diketahui adanya struktur bangunan besar dan masif. Ini juga terbukti dengan pengeboran geologi. "Kami menemukan struktur batuan hingga kedalaman 20 meter. Ada seperti sesuatu yang dipangkas," kata Danny Hilman.

Andang Bachtiar mengatakan hal serupa, "Ini constructed. Dari kedalaman 18 meter ke atas, ini merupakan bangunan. Jadi bukan sesuatu yang natural." Di acara diskusi ini, tim kemudian menyorot teknologi konstruksi bangunan.

Sebelumnya, ada dugaan batu itu terbentuk secara alami dari proses vulkanik, yaitu columnar joint basalt. Tapi menurut Andang, dugaan itu gugur. Soalnya, columnar joint basalt tidak ditemukan di sekitar situs Gunung Padang.

Hal menarik lain dari penelitian tim itu adalah cara bangunan ini disusun. Dari temuan bebatuan yang menjadi pemisah Teras 1 dan Teras 2, terlihat ada bahan perekat menyambung bangunan. (Lihat Infografik). "Ini bukan pelapukan andesit, tapi semacam semen purba," Andang menambahkan.

Ada dugaan kuat, jika bangunan purba itu menerapkan semacam teknologi penahan gempa. Ini terlihat dari adanya lapisan buatan yang materinya adalah pasir. "Ini hasil ayakan sangat halus, dan jelas bukan terbentuk secara alami," jelas Andang. Pasir ditemukan dalam satu lapisan, di kedalaman 8 hingga 10 meter. "Ini seperti teknologi yang mampu menahan gempa".

Tim Bencana Katastrofi Purba kemudian menjelaskan hasil carbon dating yang dilakukan terhadap sisa akar tanaman dan sisa arang bekas pembakaran, yang didapat dari hasil pengeboran. Menurut Danny Hilman, hasil carbon dating memperlihatkan bahwa situs Gunung Padang berasal dari 6.700 tahun lalu. "Berarti sekitar tahun 4.700 Sebelum Masehi," tutur Danny.

Jika hasil carbon dating itu tepat, hasil ini terbilang menakjubkan. Artinya, di masa prasejarah, sudah dikenal teknologi bangunan maju di wilayah nusantara. "Ini seperti Machu Picchu, di Peru. Tapi ini berasal dari abad yang jauh lebih tua. Bisa jadi teknologi Machu Picchu juga berasal dari sini," kata Danny menambahkan. Machu Picchu diperkirakan berasal dari abad 14 atau 15.

Ilmuwan lain menyambut baik temuan Tim itu. Arkeolog Universitas Indonesia, Ali Akbar, misalnya, mengatakan perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat konteks hasil pengeboran dengan lapisan budayanya. "Ambil sampelnya di mana, kedalaman berapa ditemukan pasir itu. Apa ada hal serupa di titik lain. Ini perlu diketahui lagi untuk mengetahui konteks lapisan budaya dengan bangunannya," ujar Ali Akbar. "Sebaiknya dicek lagi di teras lain," lanjutnya.

Struktur piramida?

Dugaan tentang struktur apa yang dikandung di Gunung Padang menarik didiskusikan. Ahli kompleksitas Hokky Situngkir, yang berbicara di seminar tersebut, menyebut adanya kemungkinan bentuk piramida kecil di Gunung Padang. Dengan metode kompleksitas, Hokky mencari dugaan keterkaitan Gunung Padang dengan situs megalitik lain.

Dari perspektif Arkeo-Geografi, Hokky mereka-reka suatu struktur piramida kecil yang dapat dicocokkan dengan lanskap geografis Gunung Gede. Struktur piramida ini sendiri sekarang terlihat reruntuhannya di Teras 1, yang ada di Gunung Padang.

Mengenai bentuk piramida, perdebatan masih mencuat: apakah Gunung Padang bukit buatan berbentuk piramida (piramidal), atau ia hanya struktur bangunan akibat kontur geografis gunung yang terbentuk secara alami.

Danny Hilman menyebut Gunung Padang adalah man-made hingga kedalaman 20 meter. Namun, kesimpulan ini dibuat dengan catatan pengeboran baru dilakukan hingga kedalaman sekitar 25 meter. Danny yakin bukit ini tak terbentuk alamiah. "Ada yang bilang ini gunung purba, tapi saya melihat tidak ada intrusi magma," ujar Danny.

Beda pendapat dengan Danny, geolog Sujatmiko mengatakan Gunung Padang adalah gunung purba yang terbentuk alami. "Itu gunung purba di bawahnya, dan bangunan memanfaatkan morfologi, karena mereka ingin di atas," ujar Sujatmiko. Sayangnya, Sujatmiko tak melakukan riset, hanya dari pengalamannya mengamati bentukan gunung. "Lagi pula, tak ada temuan piramida di nusantara selama ini," ujarnya.

Ahli geologi Awang Satyana membantah Sujatmiko. Dia mengatakan struktur punden berundak punya bentuk sama dengan piramida berjenjang atau step pyramid. "Piramida adalah bangunan yang semakin kecil mendekati puncak," jelas Awang. Dia mencontohkan Borobudur yang juga punya struktur piramida.

Arkeolog UI Ali Akbar juga mengatakan model piramida sudah dikenal sejak masa prasejarah di Indonesia. "Tapi bukan seperti di Mesir. Di sana kan bangunan di tanah datar yang ditumpuk ke atas," kata Ali Akbar. "Di Indonesia bentuknya seperti punden berundak yang biasa ambil lokasi di gunung alami. Sehingga batu yang dibutuhkan tidak sebanyak yang di Mesir. Jadi lebih memanfaatkan alam," jelasnya.

Heboh piramida ini juga menarik ahli asing, semisal genetikawan Stephen Oppenheimer dari Universitas Oxford, Inggris. Penuslis buku laris Eden in The East ini pernah mengatakan kawasan nusantara sebagai daerah peradaban tinggi di masa lalu (Lihat Wawancara Openheimmer).

Tapi soal piramida, dia mengatakan, perlu hati-hati. Soalnya, sulit membedakan struktur monumen hasil modifikasi manusia, dengan struktur geologis oleh alam. "Anda bisa menghabiskan waktu memburunya dan ternyata kemudian adalah gunung, jelas Anda akan mendapat malu," lanjut Oppenheimer saat diwawancara Arfi Bambani dari VIVAnews di Bali.

Seperti dijelaskan Andang dan Danny, mereka awalnya ingin mengetahui keterkaitan bencana purba dengan peradaban di masa lampau itu. “Ada siklus bencana di masa lalu yang tidak tercatat prasasti atau catatan kuno, dan ini menghancurkan suatu peradaban,” ujar Andang. “Kami ingin melihat kemajuan teknologi dan budaya, sehingga tak selalu mulai dari nol.”

Tapi tudingan ke Tim itu toh tak reda juga, termasuk mereka mengincar harta karun di situs purba. Apa kata Andang? "Kearifan dan ilmu dari masa lalu yang terpendam di gunung itu, itulah harta karun bagi kita," ujarnya.(np)

Sumber : http://sorot.vivanews.com/news/read/287335-menguak-piramida-di-gunung-padang

Dugaan Piramida di Gunung Padang Mendekati Kenyataan

SANUR, (PRLM).- Setelah melakukan pengeboran secara diam-diam, Tim Katastropik Purba menemukan atap, lorong, dan material pasir di kedalaman 26 meter terkubur di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Penemuan itu membuktikan gambar yang dihasilkan dari pemetaan geolistrik berupa piramida itu untuk sementara ini benar. Koordinator Tim Katastropik Purba sekaligus Staf Presiden Andi Arief mengatakan itu dalam International Conference on Indonesian Studies yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia di Inna Grand Bali Beach, Sanur, Kamis (9/2).

Menurut dia, susunan yang ditemukan diduga kuat atap piramida persis seperti hasil geolistrik. Saat ini, temuan tersebut akan dilanjutkan dengan tahap eskavasi. Untuk itu, ia meminta agar pihak-pihak lain untuk menahan diri tidak mengomentari hasil temuan sementara itu sebelum seluruhnya rampung. "Kita mengimbau para ahli yang tidak melakukan riset, untuk bersabar. Terbukti di Gunung Padang itu sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan ternyata ada," ujarnya.

Dugaan adanya piramida di Gunung Padang juga berlaku untuk Gunung Sadahurip. Sebab, gambar hasil pemetaan geolistrik di Sadahurip juga hampir sama dengan gambar geolistrik di Gunung Padang. Oleh karena itu, ia tidak akan berhenti menelusuri keberadaan bukti-bukti arkeologi di kedua titik tersebut. Rencananya, pengeboran Sadahurip akan dilakukan mulai Maret mendatang. "Dari hasil geolistrik antara Gunung Padang dengan Sadahurip itu tidak begitu beda. Pembuktiannya nanti melalui pengeboran. Yang jelas, Gunung Padang hasilnya sama antara pengeboran dan geolistrik," ucapnya.

Andi mengaku bahwa upaya riset dan penelitian itu telah mendapat restu dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh karena itu, upaya penelitian terkait itu akan terus dilakukan. Pekerjaan besar ini adalah yang pertama kali dilakukan di dunia karena terencana. Sejak masa kolonial berakhir, kata dia, penemuan arkeologi hanya berdasarkan faktor kebetulan semata. Misalnya karena kebetulan ditemukan oleh petani yang sedang mencangkul. kalau pada tahun 1800 saja ditemukan banyak bukti sejarah, kita kok sekarang sedikit sekali, lebih banyak karena cangkulan petani.

Terkait rencana pengeboran Sadahurip dan Gunung Padang, Pakar Genetika sekaligus penulis buku Eden in The East, Profesor Stephen Oppenheimer enggan berkomentar banyak karena dirinya tidak meneliti hal itu. Pada kesempatan itu, Oppenheimer hadir menyampaikan pidatonya terkait hasil temuannya tentang teori banjir besar yang menenggelamkan Sundaland (Benua Sunda) yang merupakan wilayah Asia Tenggara kini.

Dalam bukunya berjudul Eden in The East, Oppenheimer mengatakan bahwa peradaban Benua Sunda adalah awal mula dari peradaban maju yang ada di dunia. Hal itu ditandai dengan adanya penemuan sistem agrikultur dan peternakan yang telah maju sejak 16.000 tahun yang lalu.

Yang dimaksud dengan Sundaland oleh Oppenheimer yaitu melingkupi Indonesia kecuali Sulawesi dan Papua yang berbeda lempeng bumi, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan negara Asia Tenggara lainnya saat ini. Wilayah Asia Tenggara semula berada di satu daratan, namun terpisah setelah didera banjir besar berupa kenaikan muka air laut akibat es di kutub utara yang mencair.

Banjir besar itu terjadi tiga kali, yaitu yang pertama terjadi pada 14.500 tahun yang lalu yang menenggelamkan sebagian wilayah Jawa sehingga membentuk Pulau Jawa terpisah dari Kalimantan dan Sumatera yang terpisah oleh Laut Jawa dan Selat Sunda. Selain itu, banjir besar periode pertama itu juga menenggelamkan sebagian utara Kalimantan dan Sumatera sehingga membentuk Pulau Sumatera terpisah dengan Malaysia dan Kalimantan serta terbentuknya Laut China Selatan. Banjir kedua terjadi pada 11.500 tahun lalu dan banjir ketiga terjadi pada 8.400 dan 7.250 tahun lalu. "Ketiga banjir besar itu

Andi meminta agar tidak mengkait-kaitkan penelitian Tim Katastropik Purba dengan teori Oppenheimer tersebut. Menurut dia, justru penelitian itu dilakukan untuk menambah bukti-bukti baru yang mendukung teori Oppenheimer.

Selain Oppenheimer, konferensi itu juga dihadiri 150 peneliti budaya dari berbagai negara, di antaranya Vietnam, Kenya, Tunisia, Azerbaijan, Denmark, Jerman, Turki, Ukraina, Perancis, dan lainnya. Konferensi akan berlangsung hingga Jumat (10/2) malam dan dibuka oleh Dirjen Kebudayaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ukus Kuswara, Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Soemantri didampingi oleh Dekan FIB UI Dr. Bambang Wibawarta. (A-156/A-147)***

Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/node/176258